PLTSa vs PSEL: Perbedaan dan Skema Proyek Energi Sampah

PLTSa vs PSEL: Perbedaan dan Skema Proyek Energi Sampah
PLTSa vs PSEL: Perbedaan dan Skema Proyek Energi Sampah

JAKARTA - Pemanfaatan sampah sebagai sumber energi di Indonesia kini semakin digalakkan melalui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) maupun Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).

Meski terdengar mirip, kedua istilah ini memiliki perbedaan penting yang kerap membingungkan masyarakat dan pihak terkait. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa perbedaan istilah ini bukan sekadar nama, melainkan mencerminkan cakupan teknologi dan mekanisme proyek yang berbeda.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa secara resmi, kementerian menggunakan istilah PLTSa yang tercantum dalam regulasi. 

Baca Juga

Harga Tembaga Global Melonjak Akibat Krisis Tambang Freeport

Sementara istilah PSEL lebih umum digunakan oleh instansi lain, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pemerintah daerah. “Kalau saya nyebutnya PLTSa, karena di peraturan menteri memang disebut PLTSa, pembangkit listrik tenaga sampah. Kalau yang lain ada yang menyebut PSEL, ya silakan saja, tapi kami tetap pakai istilah PLTSa,” ujar Eniya.

Menurut Eniya, PLTSa memiliki cakupan yang lebih spesifik dibandingkan PSEL. PLTSa berfokus pada konversi langsung sampah menjadi listrik melalui teknologi termal seperti insinerator. 

Dengan kata lain, semua PLTSa termasuk dalam kategori PSEL, tetapi tidak semua PSEL harus berupa PLTSa. PSEL adalah istilah yang lebih luas karena bisa mencakup berbagai bentuk pemanfaatan energi dari sampah, termasuk produksi biogas maupun bahan bakar alternatif (Refuse Derived Fuel/RDF). Dengan demikian, PLTSa merupakan salah satu bentuk spesifik dari PSEL yang mengedepankan pembangkit listrik langsung dari sampah padat.

Eniya menekankan bahwa skema pengembangan proyek PLTSa dilakukan secara terstruktur melalui kolaborasi lintas kementerian. Dalam rapat koordinasi yang melibatkan KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kemenkopolhukam, ditetapkan sekitar 10 lokasi prioritas untuk pembangunan PLTSa tahap awal. Lokasi-lokasi ini dipilih berdasarkan potensi volume sampah yang tinggi, seperti di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya.

Pembangunan PLTSa ditugaskan melalui Danantara, badan yang berperan menentukan daftar pendek calon mitra pengembang. Setelah kemitraan terbentuk melalui skema joint venture, proyek akan didaftarkan ke Kementerian ESDM melalui sistem perizinan Online Single Submission (OSS). “Danantara yang menentukan mitranya, berapa persen mereka join, dan setelah terbentuk, baru masuk OSS. Kami sudah siapkan KBLI dan proses perizinannya di ESDM,” kata Eniya.

Selain itu, pemerintah telah menetapkan tarif listrik PLTSa yang seragam secara nasional, sebesar 20 sen per kilowatt hour (kWh). Tarif ini termasuk tipping fee atau biaya pengelolaan sampah, sehingga PLN secara otomatis menanggung pembelian listrik dari proyek PLTSa tanpa perlu negosiasi tambahan. Skema ini dirancang agar proyek dapat berjalan lancar dan menarik bagi investor maupun pihak pengembang.

Peran pemerintah daerah juga menjadi kunci keberhasilan proyek PLTSa. Daerah dituntut menyediakan lahan yang memadai dan memastikan pasokan sampah (feedstock) sesuai kebutuhan fasilitas PLTSa. Jika pasokan feedstock tidak terpenuhi, pemerintah daerah harus memberikan kompensasi kepada pengelola proyek. “Daerah harus bertanggung jawab menyediakan lahan dan memastikan feedstock cukup. Kalau tidak terpenuhi, daerah yang harus kompensasi,” jelas Eniya.

Selain aspek teknis dan administratif, proyek PLTSa juga memiliki tujuan lingkungan yang strategis. Dengan mengubah sampah menjadi listrik, proyek ini membantu mengurangi volume sampah di TPA serta menurunkan emisi gas rumah kaca. PLTSa menjadi solusi bagi kota-kota besar yang menghadapi masalah pengelolaan sampah sekaligus meningkatkan ketersediaan energi listrik terbarukan.

Proyek PLTSa diharapkan menjadi model integrasi antara teknologi energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan sistem kelistrikan nasional. Dengan pengaturan tarif listrik yang jelas dan keterlibatan pemerintah daerah, proyek ini dirancang untuk mendorong investasi dan mempercepat transisi energi di Indonesia.

Eniya menambahkan bahwa meski PLTSa dan PSEL memiliki cakupan berbeda, kedua istilah ini sama-sama mendukung pemanfaatan energi dari sampah. Perbedaan terminologi penting dipahami agar masyarakat, investor, dan pemangku kepentingan tidak salah kaprah dalam membaca regulasi maupun mengembangkan proyek energi berbasis sampah di Indonesia.

Dengan kerangka regulasi yang jelas, penetapan lokasi strategis, dukungan pemerintah daerah, serta keterlibatan badan pengelola seperti Danantara, PLTSa diharapkan dapat berjalan sesuai target, menyediakan listrik yang bersih, ramah lingkungan, serta mendukung program energi terbarukan nasional.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Update Harga BBM Pertamina Oktober 2025 Seluruh Indonesia

Update Harga BBM Pertamina Oktober 2025 Seluruh Indonesia

Harga Minyak, Batu Bara, dan Logam Terbaru Oktober 2025

Harga Minyak, Batu Bara, dan Logam Terbaru Oktober 2025

5 Pilihan Rumah Murah Strategis di Lhokseumawe Untuk Investasi

5 Pilihan Rumah Murah Strategis di Lhokseumawe Untuk Investasi

Menko AHY Tegaskan Zero ODOL Akan Efektif Berlaku 2027

Menko AHY Tegaskan Zero ODOL Akan Efektif Berlaku 2027

Kandungan Etanol BBM Pertamina Aman dan Ramah Lingkungan

Kandungan Etanol BBM Pertamina Aman dan Ramah Lingkungan